Tahun Baru Diatas Tangis Palestina
oleh Haryandi
Sabtu, 03/01/2009 09:54 WIB
Cetak |
Kirim |
RSS
Baru
kali ini diri merasakan tahun baru di Swedia. Pukul 22.00 kami beranjak
menuju pusat kota di Goteborg, kota terbesar kedua setelah ibukota
Swedia, Stockholm. Dinginnya malam, dengan suhu -2 C tak urung
mengerdilkan nyali warga untuk menghabiskan malam tahun baru dengan
berpesta dan berkumpul.
Sempat hati tak ingin ikut menikmati malam pergantian tahun ini,
tapi momen ini menjadi hikmah tersendiri untuk mengukur nikmat Allah
kepada hambaNya. Malam itu dipenuhi pesta dan hura-hura. Diskotik, pub,
club, dan sarana hiburan lainnya ramai pengunjung bahkan hingga antrian
panjang memenuhi lorong-lorong di pusat keramaian. Di jalan-jalan
ratusan pemuda pemudi bermabuk ria. Miras yang dibeli sejak sore,
dihabiskan untuk malam tahun baru, padahal dari sisi harganya sangat
mahal karena kebijakan pajak tinggi untuk miras dari pemerintah Swedia.
Berbagai hiburan ditawarkan, pesta khusus pun direncanakan.
Detik-detik pergantian tahun selalu diiringi letusan dan kemilau
kembang api. Dari segenap penjuru kota Gotenborg penuh dihiasi cahaya
warna warni tanda tahun sudah berganti. Entah, berapa uang yang keluar
pada malam ini. Andai 1 set kembang api dengan harga 100 SEK (1 SEK
sekitar Rp.1400) untuk ukuran standar, berapa yang terbuang pada malam
itu. Ditambah berkaleng-kaleng minuman keras dihamburkan, hanya untuk
pesta pergantian tahun 2008 menuju 2009.
Pikiranku melayang, membayangkan kondisi di salah satu negeri yang
saat itu mengalami hal yang sebaliknya. Negeri para nabi digempur dari
darat, laut, dan udara. Dentuman keras bukan suara kembang api, tapi
bom asli. Kilauan cahaya bukan warna-warni kembang api, tapi kilauan
bom dari pesawat tempur dan tank tempur. Disaat manusia berpesta pora,
mereka di blokade dari berbagai sisi bahkan negara tetangga
bersekongkol menutup perbatasan sebagai jalur bantuan. Disaat uang dan
makanan dihambur-hamburkan pada malam ini, mereka tak berdaya hingga
rumah sakit kehabisan stok obat, anak-anak dan keluarga kelaparan.
Sungguh tak adil. Orang yang menyerang dianggap pahlawan, orang yang
bertahan dianggap teroris. Persekongkolan busuk yang nyata didepan
mata. Sekitar 400 syahid dipanggil Allah, beberapa keluarga musnah
tanpa generasi, bangunan porak poranda, bahkan rumah Allah pun diluluh
lantakkan dengan berbagai dalih. Tangisan duka menyelimuti ibu-ibu yang
kehilangan anaknya, tangisan luka menghiasi tiap jengkal tanah Gaza.
Kekecaman ini kian menunjukkan arogansi umat yang terlaknat, umat yang
selalu membuat ulah disaat Allah mengirimkan nabi dan rasul pilihan.
Darah dan air mata dari pelosok Gaza. Tangis dan luka itu takkan
menyurutkan perjuangan merebut hak rakyat Palestina. Sekecil apapun
bantuan kita, baik doa dan finansial. Semoga Allah memberi balasan yang
setimpal dan memberikan kekuatan kepada saudara-saudara kita di
Palestina. Untuk saudaraku di Gaza, Allahlah tujuan akhir kita.
eramuslim.com