Poin Brogader : 6085 Total Posan : 255 Sejak : 20.09.07 Domisili : bogor-jakarta-bogor KorWil : Bogor Raya NRA : 124 Jabatan : Ang. Forum Thunder :
125
Julukan : 125 - Black Sikon : married Hobi : traveling
Subyek: KESEHATAN: MUSIK: dan Kesehatan 26.02.08 12:47
Tuli Mengancam Kaum Muda
Menurut penelitian, ketulian menyerang orang makin dini. Penyebabnya adalah gaya hidup modern, seperti mendengarkan musik melalui earphone.
Entakan irama musik menemani perjalanan Linda—sebut saja begitu namanya—selama penerbangan dari Bangkok menuju Jakarta. Sejak pesawat lepas landas hingga mendarat di Bandar Udara Soekarno-Hatta, sekitar tiga setengah jam, earphone yang tersambung pada alat pemutar musik mini terus menempel di telinga gadis 18 tahun ini.
Semula Linda merasa asyik dan nikmat bisa mendengarkan musik kesayangannya tanpa peduli orang sekitar. Namun, ketika kupingnya tak lagi disumpal, dia terkejut.
Ternyata kupingnya terus berdengung dan gerebek-gerebek. Berkali-kali Linda menelan ludah, berharap dengungan dan rasa "penuh" di telinga segera pergi, tapi gagal. Kupingnya malah makin budek. Hiruk-pikuk kesibukan bandara cuma terdengar sayup-sayup.
Untunglah, perlahan-lahan dengungan itu memudar. Tapi Linda merasa pendengarannya tak setajam sebelumnya. Kondisi ini memaksanya mendatangi klinik telinga, hidung, dan tenggorokan (THT). "Dia mengalami ketulian sampai 110 desibel," kata Ratna D. Restuti, dokter spesialis THT dari Rumah Sakit Proklamasi, Jakarta Pusat, yang menangani gadis itu.
Angka 110 menunjukkan ukuran intensitas pendengaran atau audiogram. Untuk orang dengan pendengaran normal, audiogramnya terletak antara nol dan 20 desibel. Di atas angka itu, artinya kondisi telinga sudah tidak beres.
Kebiasaan mendengarkan musik dengan alat yang langsung disumpalkan ke telinga (earphone)—yang menjadi tren di kalangan anak muda masa kini—membuat prihatin Ratna. Apalagi lingkungan sekarang tak bebas dari kepungan suara bising: rumah dengan suara berbagai peralatan elektronik, jalan raya yang penuh kendaraan bermotor, tempat-tempat hiburan dengan musik keras, dan pabrik yang penuh geraman mesin.
Menurut hasil penelitian Jenny Bashiruddin, yang juga ahli THT, efek bising ini memang luar biasa. "Tak ada yang menyadari, misalnya, pusat permainan anak-anak di mal juga sumber bising berbahaya, karena tingkat kebisingannya mencapai 90-95 desibel," kata Jenny, yang melakukan penelitian efek bising di berbagai tempat selama 2007.
Dengan tingkat suara setinggi itu, anak-anak seharusnya hanya boleh tinggal satu-dua jam. Jika lebih lama dari itu, akan terjadi kelelahan koklea (rumah siput), yang berperan penting dalam proses pendengaran. Kelelahan koklea yang terjadi terus-menerus dan tak segera ditangani dapat menyebabkan gangguan pendengaran menetap. Menurut Jenny, makin sering dan lama diserbu kebisingan, makin cepat berkurang masa seseorang mampu mendengar secara normal. Alhasil, tuli pun makin dini menyerang orang.
Ini rupanya menjadi kecenderungan global. Di Amerika Serikat, melalui penelitian lebih komprehensif, telah disimpulkan bahwa pendengaran sekitar 5,2 juta anak berusia 6-19 tahun terganggu gara-gara terlalu sering terpapar musik keras akibat pemakaian Walkman dan iPod, kebiasaan menikmati televisi ukuran jumbo dengan suara menggelegar, atau pergi ke klub joget dengan musik tekno ajib-ajib.
Para ahli kesehatan di sana memperkirakan anak-anak iPod generation ini bakal lebih awal mengalami presbiakusis (tuli karena usia lanjut), yakni pada usia 40-an tahun. Padahal, secara normal, pengurangan kualitas pendengaran baru terjadi saat menginjak usia 60-70 tahun. Kondisi Indonesia pun tidak jauh berbeda. Apalagi makin banyak saja orang wira-wiri dengan kabel bersumpal "tertancap" di telinga.
Bila tidak percaya kedahsyatan dampaknya, lihat saja nasib Linda. Menurut Ratna, gadis muda itu didiagnosis mengalami tuli akibat bising karena telah mendengarkan musik dengan perangkat yang langsung menempel di telinga secara terus-menerus lebih dari tiga jam. Alat seperti ini semakin berakibat buruk karena si pemakai cenderung menggeber volume keras-keras agar telinga mereka tidak terganggu suara berisik di sekitarnya. "Seperti jika digunakan di kendaraan, termasuk pesawat dan kereta api," kata Ratna.
Untunglah Linda segera mendapat pertolongan. Dengan terapi hiperbalik—memberinya obat-obatan khusus—tingkat ketuliannya berkurang, tapi tak sembuh. "Tuli akibat bising memang cuma bisa dikurangi, tidak bisa pulih seratus persen jadi normal kembali," ujar Ratna. Sebab, yang rusak adalah sel rambut pada organ telinga bagian dalam yang berfungsi menangkap rangsangan atau frekuensi suara. Bila bagian ini sudah terganggu dan rusak, tak akan bisa kembali normal.
Menurut Damayanti Soetjipto, ahli THT dari Rumah Sakit MMC, Jakarta Selatan, paparan bising merupakan salah satu penyebab ketulian di Indonesia, yang kasusnya mencapai 0,4 persen dari total jumlah penduduk. Penyebab lainnya adalah congek, serumen (kotoran telinga), obat-obatan, usia lanjut, tuli sejak lahir, dan tuli mendadak. "Sebenarnya sebagian bisa dicegah, tapi kesadaran masyarakat soal ini masih rendah," katanya.
Untuk mendongkrak kesadaran masyarakat itu, Komisi Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian dibentuk dan diresmikan Sabtu dua pekan lalu di Jakarta . Damayanti, yang menjabat sebagai ketua, menerangkan komisi nasional ini dibentuk atas rekomendasi lembaga regional yang dibentuk Badan Kesehatan Dunia (WHO), Sound Hearing 2030. Tujuan utamanya mengurangi kasus gangguan pendengaran dan ketulian hingga 50 persen pada 2015, dan 90 persen dalam 15 tahun berikutnya.
Masalahnya, kebisingan belum dianggap sebagai ancaman serius. Bising malah dianggap keren. Beberapa aktivitas kehidupan modern identik dengan kebisingan. Konser-konser musik digelar dengan sound system makin canggih. Tengok juga sejumlah kafe dan diskotek serta berbagai tempat nongkrong anak muda yang bertebaran di penjuru kota . Juga jalan raya yang makin semrawut dan bising. Itu semua masih ditambah dengan hobi mendengarkan musik dengan earphone. Sepertinya, makin bising makin keren. Tapi, jika sudah tuli, pasti tidak lagi keren.
Suara Mengalir Sampai Jauh
Saat suara masuk, tulang-tulang pendengaran bergetar.
Suara lalu diteruskan ke koklea (rumah siput), yang terletak di bagian tengah telinga.
Pada koklea terdapat sel-sel rambut yang berfungsi menangkap rangsangan atau frekuensi suara.
Sel rambut juga berfungsi mengubah energi akustik menjadi rangsang listrik untuk dapat diteruskan ke pusat persepsi pendengaran di otak.
Suara berfrekuensi lebih dari 80 desibel dapat membuat sel-sel rambut mengalami kelelahan.
Sel-sel rambut yang sering lelah lama-kelamaan rusak.
Kerusakan pada sel rambut menyebabkan terganggunya proses mendengar. Akibatnya, terjadi penurunan fungsi pendengaran.
Pada awalnya, penurunan fungsi pendengaran hanya bersifat sementara, tapi bila paparan bising berlangsung terus, kerusakan akan permanen.
Lama Pemaparan
Ruangan tenang: 30-40 desibel
80 dB
16*
Percakapan normal: 65 desibel
85 dB
8*
Pengisap debu, televisi: 60-70 desibel
90 dB
4*
Walkman/iPod: 96 desibel
95 dB
2*
Arena bermain anak di mal: 90-95 desibel
100 dB
1*
Diskotek atau klub malam: 100-120 desibel
105 dB
1/2*
Orkes simfoni: 110 desibel
110 dB
1/4*
Konser musik: rock 110-140 desibel
115 dB
1/8*
* Lama pemaparan tiap hari dlm jam]
Surya Donatur KOSTER
Poin Brogader : 6217 Total Posan : 256 Sejak : 21.08.07 Domisili : Duri-Riau Jabatan : Ang. Forum Thunder :
125
Julukan : 125 Sikon : Menikah Hobi : Touring, main Keyboard, Fotografi Slogan : Jangan Hanya menjadi Baik,Jadilaah Cemerlang
Subyek: iPods Bikin Telinga Berdengung 06.03.08 21:48
Musik salah satu cara pendongkrak semangat, musik membuat hidup lebih hidup, tapi apa jadinya jika musik bikin telinga berdengung? Tentu bukan musik yang bikin telinga 'ngungung', tapi perilaku kita mendengarkan musik yang membuat pendengaran jadi tak tajam lagi.Para peneliti di Australia menemukan sekitar seperempat pengguna iPods mengalami gangguan pendengaran. iPods mania atau pemakai portable music players lainnya sering beresiko mengalami kenaikan telinga berdengung (tinnitus) atau masalah pendengaran lainnya, kecenderungan ini lebih banyak dijumpai pada pengguna iPods yang gila-gilaan memutar volume iPods-nya.National Acoustic Laboratories di Sydney meminta para responden mendengarkan musik dengan volume sebanding dengan perangkat bermesin motor (ie: mesin bor). Para peneliti menemukan bahwa tingkat dengungan (tinnitus) akan meningkat karena pendengaran tak bisa lagi mengadopsi kebiasaan normal telinga mereka. Penelitian tersebut mencatat sekitar 25 persen responden cenderung mendengarkan iPods ataupun portable musik lainnya dalam kapasitas 'bising' sebanding dengan tingkat kebisingan suara-suara pada alat pemotong rumput maupun perangkat bermesin motor, dengan rata-rata intensitas diatas 85 decibels.Dalam ukuran normal, orang dengan pendengaran normal audiogram-nya terletak antara 0 sampai 20 decibels, lebih dari 30 decibels dengan rentangan sampai 100 desibel berarti ada gangguan pendengaran. Ukuran intensitas pendengaran normal dicatat dalam bentuk audiogram, dimana audigram yang terletak antara 30 sampai 40 decibels termasuk gangguan ringan. Dari 40 sampai 60 decibels termasuk skala sedang. Antara 60 sampai 90 desibel sudah berat. Sebagai gambaran, bunyi mesin bor jalanan sama dengan 100 desibel. Mesin pesawat terbang 120 desibel. Sedang ruangan yang tenang kira-kira sekitar 30 sampai 40 desibel."Menikmati alunan musik disco, menghadiri pesta dansa, bekerja di pabrik, mendengarkan musik sambil berkendara atau hanya mendengarkan musik didalam kamar, apapun kondisinya jika mengganggu telinga hal tersebut sudah termasuk kategori 'kebisingan'," ujar Professor Harvey Dillon, penggagas penelitian."Akan lebih baik jika mendengarkan musik dalam frekuensi normal, mungkin gangguan ini tak tampak dalam waktu dekat namun tak menutup kemungkinan memicu gangguan yang lebih berat beberapa tahun mendatang," tambah Prof. Dillon. (sky/rit)
Tamu Tamu
Subyek: Re: KESEHATAN: MUSIK: dan Kesehatan 11.04.08 13:42
:koster:
eWiNz PELTU KOSTER
Poin Brogader : 5809 Total Posan : 327 Sejak : 21.06.08 Domisili : Kendari Jabatan : Ang. Forum Thunder :
125
Julukan : Red Maroon and Black Tirev Sikon : Stand By Hobi : Touring, Racing, Modif. Hmmm ...
Subyek: MUSIK ITU SEHAT 30.06.08 15:10
Hampir setiap orang menggunakan musik pada saat santai atau mungkin untuk mendapatkan energi. Tapi disiplin terapi musik menggunakan musik lebih jauh, dari memerangi depresi sampai melawan kanker.
Cheryl Dileo, seorang profesor terapi musik dan direktur Arts and Quality Life research Center di Temple University mengatakan bahwa terapi musik adalah praktek berbasis bukti yang dapat mengubah secara fisik, fisiologi, sosial dan daerah kognitif melalui pengalaman musik dan hubungan yang berkembang antara klien dan pemberi terapinya.
Nyalakan radio pada stasiun favorit untuk menghilangkan mood jelek tidak sebaik terapi musik, jelas Dileo. Bantuan diri melalui musik bukanlah terapi musik, walqaupun banyak orang menggunakan musik untuk diri mereka masing-masing, contohnya relakasasi untuk memperbaiki mood mereka atau teman olahraga.
Terapi musik melibatkan proses antar personal melalui seorang ahli terapi terlatih yang menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk memenuhi kebutuhan klien yang diujinya. Walaupun banyak orang mengetahui secara intuisi bagaimana menggunakan musik bagi mereka, ketika digunakan dalam proses terapi musik oleh ahli terapi terlatih, dapat menjadi lebih berdaya dalam mencapai hasil positif dari fisik, fisiologi, kognitif dan sosial.
Menurut Dileo, penggunaan terapi musik sudah bnyak sekali. Terapi musik dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan pada pasien di rumah sakit yang menjalani prosedur medik yang sulit. Juga dapat membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan mood. Terapi musik juga dapat membantu pasien depresi mengekspresikan perasaan mereka. Terapi musik telah digunakan untuk menjaga pasien alzheime tetap kalem dan membantu meningkatkan ingatan mereka di Institute for Music and Neurologic Function di Beth Abraham family of Health Services, New York City. Di Children’s Memorial Hospital Chicago, ahli terapi musik terdaftar Elisabeth Pociask menggunakan terapi musik untuk membantu orangtua baru menenangkan bayi mereka.
Dileo mengatakan bahwa ahli terapi musik harus disertifikasi, yang artinya mereka harus menghadiri program kuliah 4 tahun dan menyelesaikan supervisi internal dan lulus ujian nasional. Namun demikian, program musik non formal dapat membantu. Katherine Puckett, direktur nasional mind-body medicine di Cancer Treatment Centers of America mengetakan bahwa ketika mereka tidak mempunyai ahli terapi musik sebagai staf, pusat ini menggunakan musik hanya untuk membantu pasien-pasien mereka. Menenangkan tubuh dapat membantu menghilangkan nyeri fisik dan orang lebih sedikit memerlukan pengobatan.
Cancer Treatment Centers of America menjaga perpustakaan musik tersedia bagi pasien dan mereka mempunyai kegiata khusus yang membantu pelepasan emosi bagi pasien-pasien. Beberapa orang dapat melepaskan emosi melalui berbicara, tapi beberapa orang perlu pelepasan non verbal. Pucket mengatakan bahwa orang-orang merespon musik. Musik menenangkan, membuat nyaman dan menyejukan.
dexolgenk Jenderal KOSTER
Poin Brogader : 6037 Total Posan : 3355 Sejak : 25.12.07 Domisili : Batam Island Jabatan : Ang. Forum Thunder :
125
Julukan : Thunder 125 ... pengen dijadiin kaya motard.. Sikon : Single Hobi : Surfing Slogan : Keep Fighting ( Tetap Berusaha, bukan terus berantem )
Subyek: KESEHATAN: Tuli Mengancam Kaum Muda 11.10.08 10:36
Tuli Mengancam Kaum Muda
Menurut penelitian, ketulian menyerang orang makin dini. Penyebabnya adalah gaya hidup modern, seperti mendengarkan musik melalui earphone.
Entakan irama musik menemani perjalanan Linda—sebut saja begitu namanya—selama penerbangan dari Bangkok menuju Jakarta . Sejak pesawat lepas landas hingga mendarat di Bandar Udara Soekarno-Hatta, sekitar tiga setengah jam, earphone yang tersambung pada alat pemutar musik mini terus menempel di telinga gadis 18 tahun ini.
Semula Linda merasa asyik dan nikmat bisa mendengarkan musik kesayangannya tanpa peduli orang sekitar. Namun, ketika kupingnya tak lagi disumpal, dia terkejut. Ternyata kupingnya terus berdengung dan gerebek-gerebek. Berkali-kali Linda menelan ludah, berharap dengungan dan rasa "penuh" di telinga segera pergi, tapi gagal. Kupingnya malah makin budek. Hiruk-pikuk kesibukan bandara cuma terdengar sayup-sayup.
Untunglah, perlahan-lahan dengungan itu memudar. Tapi Linda merasa pendengarannya tak setajam sebelumnya. Kondisi ini memaksanya mendatangi klinik telinga, hidung, dan tenggorokan (THT). "Dia mengalami ketulian sampai 110 desibel," kata Ratna D. Restuti, dokter spesialis THT dari Rumah Sakit Proklamasi, Jakarta Pusat, yang menangani gadis itu.
Angka 110 menunjukkan ukuran intensitas pendengaran atau audiogram. Untuk orang dengan pendengaran normal, audiogramnya terletak antara nol dan 20 desibel. Di atas angka itu, artinya kondisi telinga sudah tidak beres.
Kebiasaan mendengarkan musik dengan alat yang langsung disumpalkan ke telinga (earphone)—yang menjadi tren di kalangan anak muda masa kini—membuat prihatin Ratna. Apalagi lingkungan sekarang tak bebas dari kepungan suara bising: rumah dengan suara berbagai peralatan elektronik, jalan raya yang penuh kendaraan bermotor, tempat-tempat hiburan dengan musik keras, dan pabrik yang penuh geraman mesin.
Menurut hasil penelitian Jenny Bashiruddin, yang juga ahli THT, efek bising ini memang luar biasa. "Tak ada yang menyadari, misalnya, pusat permainan anak-anak di mal juga sumber bising berbahaya, karena tingkat kebisingannya mencapai 90-95 desibel," kata Jenny, yang melakukan penelitian efek bising di berbagai tempat selama 2007.
Dengan tingkat suara setinggi itu, anak-anak seharusnya hanya boleh tinggal satu-dua jam. Jika lebih lama dari itu, akan terjadi kelelahan koklea (rumah siput), yang berperan penting dalam proses pendengaran. Kelelahan koklea yang terjadi terus-menerus dan tak segera ditangani dapat menyebabkan gangguan pendengaran menetap. Menurut Jenny, makin sering dan lama diserbu kebisingan, makin cepat berkurang masa seseorang mampu mendengar secara normal. Alhasil, tuli pun makin dini menyerang orang.
Ini rupanya menjadi kecenderungan global. Di Amerika Serikat, melalui penelitian lebih komprehensif, telah disimpulkan bahwa pendengaran sekitar 5,2 juta anak berusia 6-19 tahun terganggu gara-gara terlalu sering terpapar musik keras akibat pemakaian Walkman dan iPod, kebiasaan menikmati televisi ukuran jumbo dengan suara menggelegar, atau pergi ke klub joget dengan musik tekno ajib-ajib.
Para ahli kesehatan di sana memperkirakan anak-anak iPod generation ini bakal lebih awal mengalami presbiakusis (tuli karena usia lanjut), yakni pada usia 40-an tahun. Padahal, secara normal, pengurangan kualitas pendengaran baru terjadi saat menginjak usia 60-70 tahun. Kondisi Indonesia pun tidak jauh berbeda. Apalagi makin banyak saja orang wira-wiri dengan kabel bersumpal "tertancap" di telinga.
Bila tidak percaya kedahsyatan dampaknya, lihat saja nasib Linda. Menurut Ratna, gadis muda itu didiagnosis mengalami tuli akibat bising karena telah mendengarkan musik dengan perangkat yang langsung menempel di telinga secara terus-menerus lebih dari tiga jam. Alat seperti ini semakin berakibat buruk karena si pemakai cenderung menggeber volume keras-keras agar telinga mereka tidak terganggu suara berisik di sekitarnya. "Seperti jika digunakan di kendaraan, termasuk pesawat dan kereta api," kata Ratna.
Untunglah Linda segera mendapat pertolongan. Dengan terapi hiperbalik—memberinya obat-obatan khusus—tingkat ketuliannya berkurang, tapi tak sembuh. "Tuli akibat bising memang cuma bisa dikurangi, tidak bisa pulih seratus persen jadi normal kembali," ujar Ratna. Sebab, yang rusak adalah sel rambut pada organ telinga bagian dalam yang berfungsi menangkap rangsangan atau frekuensi suara. Bila bagian ini sudah terganggu dan rusak, tak akan bisa kembali normal.
Menurut Damayanti Soetjipto, ahli THT dari Rumah Sakit MMC, Jakarta Selatan, paparan bising merupakan salah satu penyebab ketulian di Indonesia, yang kasusnya mencapai 0,4 persen dari total jumlah penduduk. Penyebab lainnya adalah congek, serumen (kotoran telinga), obat-obatan, usia lanjut, tuli sejak lahir, dan tuli mendadak. "Sebenarnya sebagian bisa dicegah, tapi kesadaran masyarakat soal ini masih rendah," katanya.
Untuk mendongkrak kesadaran masyarakat itu, Komisi Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian dibentuk dan diresmikan Sabtu dua pekan lalu di Jakarta . Damayanti, yang menjabat sebagai ketua, menerangkan komisi nasional ini dibentuk atas rekomendasi lembaga regional yang dibentuk Badan Kesehatan Dunia (WHO), Sound Hearing 2030. Tujuan utamanya mengurangi kasus gangguan pendengaran dan ketulian hingga 50 persen pada 2015, dan 90 persen dalam 15 tahun berikutnya.
Masalahnya, kebisingan belum dianggap sebagai ancaman serius. Bising malah dianggap keren. Beberapa aktivitas kehidupan modern identik dengan kebisingan. Konser-konser musik digelar dengan sound system makin canggih. Tengok juga sejumlah kafe dan diskotek serta berbagai tempat nongkrong anak muda yang bertebaran di penjuru kota . Juga jalan raya yang makin semrawut dan bising. Itu semua masih ditambah dengan hobi mendengarkan musik dengan earphone. Sepertinya, makin bising makin keren. Tapi, jika sudah tuli, pasti tidak lagi keren.
Suara Mengalir Sampai Jauh 1. Saat suara masuk, tulang-tulang pendengaran bergetar. 2. Suara lalu diteruskan ke koklea (rumah siput), yang terletak di bagian tengah telinga. 3. Pada koklea terdapat sel-sel rambut yang berfungsi menangkap rangsangan atau frekuensi suara. 4. Sel rambut juga berfungsi mengubah energi akustik menjadi rangsang listrik untuk dapat diteruskan ke pusat persepsi pendengaran di otak.
Suara berfrekuensi lebih dari 80 desibel dapat membuat sel-sel rambut mengalami kelelahan. Sel-sel rambut yang sering lelah lama-kelamaan rusak. Kerusakan pada sel rambut menyebabkan terganggunya proses mendengar. Akibatnya, terjadi penurunan fungsi pendengaran. Pada awalnya, penurunan fungsi pendengaran hanya bersifat sementara, tapi bila paparan bising berlangsung terus, kerusakan akan permanen.
Batas Intensitas Kebisingan Lama Pemaparan
Ruangan tenang: 30-40 desibel 80 dB 16*
Percakapan normal: 65 desibel 85 dB 8*
Pengisap debu, televisi: 60-70 desibel 90 dB 4*
Walkman/iPod: 96 desibel 95 dB 2*
Arena bermain anak di mal: 90-95 desibel 100 dB 1*
Diskotek atau klub malam: 100-120 desibel 105 dB 1/2*
Orkes simfoni: 110 desibel 110 dB 1/4*
Konser musik: rock 110-140 desibel 115 dB 1/8*
*Lama pemaparan tiap hari (jam)
dexolgenk Jenderal KOSTER
Poin Brogader : 6037 Total Posan : 3355 Sejak : 25.12.07 Domisili : Batam Island Jabatan : Ang. Forum Thunder :
125
Julukan : Thunder 125 ... pengen dijadiin kaya motard.. Sikon : Single Hobi : Surfing Slogan : Keep Fighting ( Tetap Berusaha, bukan terus berantem )
Subyek: Re: KESEHATAN: MUSIK: dan Kesehatan 11.10.08 10:37
ga nolak cendol min.....
boybowie Jenderal KOSTER
Poin Brogader : 6623 Total Posan : 4444 Sejak : 05.08.08 Domisili : Jakarta Selatan KorWil : Jakarta Selatan Jabatan : Ang. Forum Thunder :
125
Julukan : 125cc Sikon : kawin Hobi : touring Slogan : Jadikanlah hidupmu penuh dengan persahabatan dan kekeluargaan
Subyek: Re: KESEHATAN: MUSIK: dan Kesehatan 11.10.08 16:09
Kalau begitu kita tidak boleh pake earphone ya Bro... Trus ketempat hiburan yang music-nya keras gimana?