Makna nasionalisme yang kita bangga-banggakan selama ini, mulai melemah. Apa yang telah diperjuangkan lima dasawarsa yang lalu hanya menjadi tak lebih dari sekedar sejarah saja. Tiada perjuangan untuk mempertahankan apa yang telah dicapai. Seperti hanya sebuah penyelesaian tugas saja, tiada pemahaman mendalam, penjiwaan tentang tanah air. Seketika nasionalisme hanya menjadi kata-kata di bibir saja.
Demokrasi yang menjadi titik tolak negara untuk mencapai tujuan hanyalah sekedar embel-embel saja. Lebih diperjelasnya Demokrasi Pancasila. Sedangkan Pancasila sebagai dasar negara untuk bergerak telah disalahpahami dengan mengubahnya menjadi sebagai ideologi. Ideologi mengutip dari kata-kata Karl Marx adalah alat kekuasaan. Hal yang dapat menimbulkan hegemoni politik.
Ingatan kita dapat kembali menelusuri masa lampau, saat terjadi konflik “laten” antara Manifesto kebudayaan dan Manifesto politik. Dasawarsa 1960-an menyaksikan betapa persinggungan ekstrem antar-ideologi telah menghantarkan suatu pertarungan sengit. Yang menimbulkan sebuah luka sejarah yang teramat dalam. Polarisasi antara dua elemen, Manikebu dan Manipol memicu realitas buram yang berlanjut pada wilayah “kekuasaan” sebuah entitas yang tak berdiri sendiri: di atas kepentingan politislah segala keputusan menjadi final, dan seseoarang yang terlibat di dalamnya tak pernah lagi netral.
Di masa itu, bentrok antar-ideologi tak terhindarkan menjadi kewajaran dan kekhawatiran. Tapi, justru di sinilah, ideologi mengambil bentuknya yang paling esesif. Ditunjukkan oleh dua hal. Pertama, ketika ideologi mendekati wilayah sentrum kekuasaan, yang terjadi adalah monopoli dan pengucilan atas mereka yang dianggap tak sependapat. Dalam percaturan politik kala itu, potret kekuasaan, dengan dingin ditampilkan oleh Soekarno, dan begitu pula, ideologi seolah tak memberi ampun, menggunakan otoritasnya untuk membungkam komunisme-sosialisme. Catatan politik Iwan Simatupang, dengan getir, mendeskripsikan betapa Soekrano tak lagi menaruh perhatian besar akan terpecahnya masa depan kebudayaan bangsa, di tengah berkecamuknya ancaman revolusi. Ia, ironisnya, kemudian memilih meggunakan kekuasaan untuk sebuah akibat yang tak nyaman: rapresi. Dan kedua, ketika ideologi menjauh dari kekuasaan, dan ujung-ujungnya adalah sikap kontra dan resistensi. Sejarah menunjukkan, inilah yang harus dialami kelompok Manipol di rezim Orba. Goenawan Mohamad, salah seorang eksponen yang terlibat, lalu berkata: di potongan sejarah yang menyakitkan itu, kita temukan sebuah kegamangan, sikap “apokaliptik” yang tidak lagi berbicara menurut akal sehat dan hati nurani, tetapi lebih sebagai frustasi politik yang acak, intoleran, dan menang kalah.